- 13 October 2025
- Posted by: admin
- Category: News

Pernahkah Anda mendengar kisah para eksekutif bank asing ternama yang “dibajak” oleh bank-bank lokal nasional untuk diangkat menjadi direktur? Mereka datang dengan reputasi cemerlang, gaji fantastis, fasilitas mewah—namun ironisnya, banyak di antara mereka justru gagal menunjukkan performa seperti di tempat asalnya.
Fenomena serupa juga kerap terjadi pada mantan pejabat tinggi pemerintah yang setelah pensiun diangkat menjadi komisaris atau direktur perusahaan swasta—namun tak sedikit yang akhirnya hanya menjadi “figur dekoratif” tanpa dampak strategis. Atau, eksekutif berprestasi di perusahaan milik orang lain yang justru kehilangan arah ketika menjadi pemilik sekaligus CEO di bisnisnya sendiri.
Apa yang salah?
Jawabannya sederhana namun mendalam: kepemimpinan bukan ilmu eksak—ia adalah seni. Dan seperti seni, ia tidak bisa dipaksakan dalam satu formula baku. Ia hidup, berubah, dan harus menyesuaikan diri dengan konteksnya.
Karakter Pribadi: Fondasi yang Tak Bisa Diabaikan
Salah satu faktor paling menentukan dalam gaya kepemimpinan adalah corak pribadi sang pemimpin. Bagi individu berusia 30 tahun ke atas, karakter bawaan—apakah itu dominan, kolaboratif, analitis, atau visioner—sudah sangat mengakar. Seseorang yang secara alami bersifat dominan mungkin bisa berpura-pura demokratis dalam situasi normal. Tapi ketika krisis datang, insting aslinya akan muncul: ia kembali ke gaya otoriter, directive, bahkan “one-man show”.
Dan itu bukan salahnya—itu manusiawi. Masalahnya muncul ketika gaya tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan situasi.
Konteks Menentukan Gaya
Bayangkan seorang eksekutif bank internasional yang selama ini bekerja dalam sistem yang sudah matang: prosedur jelas, SDM berkualitas tinggi, budaya kerja disiplin. Lalu ia pindah ke bank lokal yang sedang berkembang—dengan SDM yang masih mentah, sistem yang belum mapan, dan tekanan pasar yang tinggi. Di sini, tuntutannya bukan sekadar menjalankan SOP, tapi membangun dari nol, memimpin dengan sabar, membina tim, mendelegasikan dengan bijak, dan membuka ruang bagi inovasi.
Gaya kepemimpinan yang kaku dan otoriter akan cepat kehabisan napas dalam lingkungan seperti ini. Sebaliknya, perusahaan yang butuh ekspansi cepat, inovasi disruptif, dan kolaborasi lintas fungsi membutuhkan pemimpin yang adaptif, transformatif, dan inklusif.
Bahkan seorang pemimpin hebat seperti Ridwan Kamil—sangat sukses memimpin Jawa Barat—belum tentu akan mencapai hasil yang sama jika ditempatkan di Papua atau Jambi. Bukan karena ia kurang kompeten, tapi karena konteks budaya, sosial, ekonomi, dan tingkat kematangan masyarakatnya berbeda. Di sana, ia harus menyesuaikan pendekatannya: lebih mendengar, lebih empatik, lebih fleksibel.
Holistic Leadership: Seni Menyeimbangkan Semua Unsur
Inilah esensi dari Holistic Leadership:
Kepemimpinan yang utuh, yang mempertimbangkan bukan hanya siapa diri Anda sebagai pemimpin, tapi juga di mana Anda berada, siapa yang Anda pimpin, dan apa yang dibutuhkan oleh situasi tersebut.
Tidak ada satu gaya kepemimpinan yang “terbaik” secara universal. Yang ada hanyalah gaya yang paling tepat untuk konteks tertentu.
Faktor-faktor kunci yang harus dipertimbangkan:
- Karakter dan keunikan pribadi pemimpin
- Strategi dan fase bisnis perusahaan
- Tingkat kematangan dan kompetensi tim
- Budaya organisasi dan budaya lokal
- Dinamika lingkungan eksternal (pasar, regulasi, teknologi)
Self-Awareness: Kunci Adaptasi yang Sukses
Seorang pemimpin holistik harus memiliki kesadaran diri (self-awareness) yang tinggi:
- Apa kekuatan dan kelemahan alaminya?
- Gaya kepemimpinan apa yang paling nyaman baginya—dan kapan gaya itu justru menjadi hambatan?
- Seberapa besar kemampuannya untuk keluar dari zona nyaman dan beradaptasi?
Karena pada akhirnya, kepemimpinan bukan tentang menjadi sempurna—tapi tentang menjadi relevan.
Edsy Sinang Tremggono | 12 Oktober 2025